PENGELOLAAN PENYAKIT TERPADU JAMUR AKAR PUTIH (Rigidiporus
lignosus) PADA TANAMAN KARET (Hevea brassiliensis Muell. Arg.)
MAKALAH
OLEH :
1.
RIAN
HARDIANSYAH MANURUNG / 090301014
2.
BAYHAQI
/ 090301023
3.
SATRIA
PARLINDUNGAN DMT / 090301026
4.
SISKO
BUDIANTO / 090301029
5.
DEWI
SARTIKA SIREGAR / 090301037
6.
NIRZA
OKTA YUDISTIRA / 090301046
KELOMPOK II
AGROEKOTEKNOLOGI 1 B
LABORATORIUM
PENGELOLAAN HAMA TERPADU
DEPARTEMEN
AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
Latar Belakang
Tanaman karet berasal
dari lembah Amazone. Karet liar atau semi liar masih ditemukan dibagian utara
benua Amerika Selatan, mulai dari Brazil hingga Venezuela dan dari Kolumbia
hingga Peru dan Bolivia, tanaman karet ini untuk pertama kalinya
diintroduksikan ke Asia Tenggara pada tahun 1876. Tahun 1990, perkebunan karet
sudah melanda seluruh dunia termasuk Srilanka, India, Malaysia, dan Indonesia.
Di Indonesia, tanaman karet pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor dan di
perkebunan Sumatera (Syamsulbahri, 1996).
Tanaman karet adalah
tanaman tahunan. Satu siklus tanaman yang dihitung dari saat penanaman di
lapangan sampai dengan peremajaan memakan waktu 25 tahun. Hal ini berarti
pemilihan bahan tanaman harus dipertimbsngksn secara cermat karena adanya
kekeliruan dalam pemilihan bahan tanaman akan berdampak negatif terhadap perkebunan
dan usaha karet nasional. Bahan tanaman karet yang dianjurkan adalah bahan
tanman klon yang diperbanyak secara okulasi (http://www.sinartani.com, 2009).
Problem yang dihadapi sampai saat ini adalah
walaupun produksi karet Indonesia tergolong besar di dunia tetapi harga jualnya
rendah di pasaran luar negeri akibat rendahnya mutu produksi karet yang
dihasilkan. Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu penyebab
rendahnya mutu tersebut.
Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui daur hidup, gejala serangan dan
pengelolaan penyakit terpadu jamur akar putih (Rigidiporus lignosus) pada tanaman karet (Hevea
brassiliensis Muell. Arg.).
Kegunaan Penulisan
-
Sebagai salah satu syarat untuk dapat mengikuti Praktikum di
Laboratorium Pengelolaan Hama dan Penyakit Terpadu Departemen Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
-
Sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Menurut Setiawan
dan Andoko (2005), klasifikasi tanaman karet adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Orda : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea brasiliensis Muell. Arg
Tanaman karet
mempunyai sistem perakaran yang padat atau kompak, akar tunggangnya dapat
menghujam ke tanah hingga kedalaman 1-2 meter, sedangkan akar lateralnya dapat
menyebar sejauh 10 meter berwarna cokelat (Syamsulbahri, 1996).
Tanaman karet
berupa pohon yang tingginya bisa mencapai 25 meter dengan diameter batang cukup
besar. Umumnya, batang karet tumbuh lurus ke atas dengan percabangan dibagian
atas. Di batang inilah terkandung getah yang lebih terkenal dengan naman lateks
(Setiawan dan Andoko 2005).
Daun tanaman karet berselang-seling, tangkai
daun panjang, tiga anak daun yang licin berkilat. Petiola tipis, hijau dan panjang
3.5-30 cm. helaian daun bertangkai pendek dan berbentuk lonjong-oblong atau
oblong obovate, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau
tua dan sisi bawah agak cerah (Sianturi, 2001).
Bunga karet
bergerombol muncul dari ketiak daun (axillary, individu bunga bertangkai
pendek, bunga betina terletak di ujung. Proporsi bunga jantan lebih banyak
dibandingkan bunga betina (60-80) bunga jantan untuk satu bunga betina. Bunga
jantan dan waktu mekar hanya satu hari kemudian luruh. Bunaga betina mekar
selama 3-4 hari pada waktu sama masih ada beberapa jantan yang mekar
(Syamsulbahri, 1996).
Buah karet dengan
diameter 3-5 cm, terbentuk dari penyerbukan bunga karet dan memiliki pembagian
ruangan yang jelas, biasanya 3-6 ruang. Setiap ruangan berbentuk setengah bola.
Jika sudah tua, buah karet akan pecah dengan sendirinya menurut ruang-ruangnya
dan setiap pecahan akan tumbuh menjadi individu baru bila tempat yang tepat
(Setiawan dan Andoko, 2005).
Biji karet besar,
bulat bersegi empat, terletak pada satu atau dua sisinya yang berkilat,
berwarna cokelat muda dengan noda-noda cokelat tua yang panjangnya 2-3,5 cm dan
lebarnya antara 1,5-3 cm dan memiliki tebal antara 1,5-2,5 cm (Sianturi, 2001).
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman karet
tumbuh baik di dataran rendah. Yang ideal adalah pada tinggi 0-200 m dari
permukaan laut. Pada tinggi lebih dari 200 dpl, laju pertumbuhan lilit batang
lebih lambat, sehingga lebih lambat dapat disadap 3-6 bulan setiap naik 200
meter (Sianturi, 2001).
Tanaman karet
memerlukan curah hujan optimal antara 2-500 mm/tahun sampai 400 mm/tahun,
dengan hari hujan berkisar antara 100 sampai 156 HH/tahun. Namun demikian jika
sering hujan pada pagi hari, produksi akan berkurang (Anwar, 2001).
Kelembaban nisbi
(Rh) yang sesuai untuk tanaman karet adalah rata-rata berkisar diantara 75-90
%. Kelembaban yang selalu tinggi tidak baik untuk pertumbuhan karet (Sianturi,
2001).
Sebagai tanaman
tropis, karet juga membutuhkan sinar matahari sepanjang hari, minimum 5-7
jam/hari (Setiawan dan Andoko, 2005).
Angin yang bertiup
kencang dapat mengakibatkan patah batng, cabang atau tumbang. Angin kencang
pada musim kemarau sangat berbahaya, ljau evapotranspirasi menjadi besar
(Sianturi, 2001).
Tanah
Jenis tanah mulai
dari vulkanis muda, tua dan aluvial sampai tanah gambut dengan drainase dan
aerase yang baik, tidak tergenang air dan pH tanah bervariasi dari 3.0-8.0
(LIPTAN, 1992).
Tanaman karet
tumbuh paling baik pada tekstur tanah liat hingga tanah berpasir dengan tingkat
nutrisi yang baik. Meskipun demikian, kebanyakan karet tumbuh baik pada media
yang berat, remah, tanah berlempung (Oxisols dan Ultisol) dengan tingkat
nutrisi agak rendah (Schulte and Schone, 2003).
Sifat-sifat tanah
yang cocok untuk tanaman karet antara lain solum tanah sampai 100 cm, tidak
terdapat batuan dan lapisan cadas, struktur terdiri dari 35 % liat dan 30 %
pasir (Anwar, 2001).
Daur Hidup Jamur
Akar Putih (Rigidiporus lignosus)
Penyakit Jamur Akar Putih disebabkan oleh Rigidoporus
lignosus atau R. microporus yang menyerang akar tunggang maupun akar
lateral. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian tanaman dengan
intensitas yang sangat tinggi terutama pada tanaman karet yang berumur
2-4 tahun. Serangan dapat terjadi mulai pada pembibitan, tanaman belum menghasilkan
(TBM) sampai tanaman menghasikan (TM). Pada permukaan akar terserang
ditumbuhi benang-benang jamur berwarna putih kekuningan dan pipih menyerupai
akar rambut. Benang-benang tersebut menempel kuat pada akar sehingga sulit
dilepas (Rahayu, 2005).
Penyakit
akar putih disebabkan oleh jamur yang lazimnya disebut jamur akar putih (JAP).
Nama ilmiah jamur ini adalah Rigidoporus lignosus (Klotzsch) Imazeki
atau Rigidoporus microporus (Swartz: Fr.)Van ove., Poliporus lignosus
Klotzsch, meskipun sampai sekarang jamur ini sering dikenal dengan nama Fomes
lignosus (Klotzsch) Bres (Semangun, 2000).
Menurut
Alexopoulus and Mins (1979) penyakit Jamur Akar Putih (JAP) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio : Mycetaceae
Sub Divisio : Amestigomycots
Kelas : Basidiomycetes
Ordo : Homobasidiomycetes
Famili : Polyperales
Genus : Rigidoporus
Spesies : Rigidoporus microporus (Swartz:
Fr.) Van overeem
JAP membentuk tubuh buah berbentuk kipas tebal, agak
berkayu, mempunyai zona-zona pertumbuhan, sering mempunyai struktur serat yang
radier, mempunyai tepi yang tipis. Warna permukaan tubuh buah dapat berubah
tergantung dari umur dan kandungan airnya. Pada permukaan tubuh buah
benang-benang jamur berwarna kuning jingga, tebalnya 2,8-4,5 μm, mempunyai
banyak sekat (septum) yang tebal. (Gambar 1). Pada waktu masih muda berwarna
jingga jernih sampai merah kecokelatan dengan zona gelap yang agak menonjol.
Permukaan bawah berwarna jingga,
tepihnya berwarna kuning jernih atau putih kekuningan. Jika menjadi tua atau
kering tubuh buah menjadi suram, permukaan atasnya cokelat kekuningan pucat dan
permukaan bawahnya cokelat kemerahan (Semangun, 2000).
Gambar 1. Badan buah jamur Rigidoporus microporus
Menurut
Steinmann (1925) dalam Semangun (2000) lapisan atas tubuh buah yang berwarna
muda terdiri atas benang-benang jamur yang terjalin rapat. Dibawahnya terdapat
lapisan pori kemerahan atau kecokelatan dengan garis tengah 45-80 μm , panjang
berbeda-beda umumnya 0,7-1,0 μm.
Diameter sporofor pada umumnya 10 cm
tetapi pada keadaan yang sesuai untuk pertumbuhan dapat mencapai 30 cm dengan
tebal 1,5 cm, bagian tepi sporofor lebih tipis, selanjutnya sporofor ini
menghasilkan basidiospora. Basidiospora bulat, tidak berwarna, dengan garis
tengah 2,8-5,0 μm, banyak dibentuk pada tubuh buah yang masih muda. Basidium
pendek (buntak), ± 16 x 4,5-5,0 μm, tidak berwarna, mempunyai 4 sterigma
tangkai (basidiospora) (Triharso, 1994).
Gambar
2. Rigidoporus lignosus. A. Pori; B. basidium (a) dengan basidiospora
(bs) dan sistidium (s). (menurut A. Steinmann, 1925 dalam Semangun,
2000)
Rigidoporus
microporus jamur yang bersifat parasit fakultatif,
artinya dapat hidup sebagai saprofit yang kemudian menjadi parasit. Jamur R.
microporus tidak dapat bertahan hidup apabila tidak ada sumber makanan.
Bila belum ada inang jamur ini bertahan di sisa-sisa tunggul (Liyanage, 1976).
Gejala
Serangan
Gejala
serangan JAP pada tanaman karet ditandai dengan adanya perubahan pada warna
daun. Daun berwarna hijau kusam, permukaan daun lebih tebal dari yang normal.
Setelah itu daun- daun menguning dan rontok. Pada pohon dewasa gugurnya daun,
yang disertai dengan matinya ranting menyebabkan pohon mempunyai mahkota yang
jarang. Ada kalanya tanaman membentuk bunga/ buah lebih awal (Semangun, 2000 dan
Rahayu, dkk., 2006).
Pada permukaan akar
yang sakit terdapat benang-benang miselium jamur (Rizomorf) berwarna putih
menjalar di sepanjang akar. Di sini benang-benang meluas atau bercabang seperti
jala. Pada ujungnya benang meluas seperti bulu, benang-benang melekat erat pada
permukaan akar (Gambar 3). Kadang-kadang berwarna kekuningan, dalam tanah merah
tanahnya dapat kemerahan atau kecokelatan, kulit yang sakit akan busuk dan
warnanya cokelat. Kayu dari akar yang baru saja mati
tetap keras, berwarna cokelat, kadang-kadang agak kekelabuan. Pada
pembusukan yang lebih jauh, kayu berwarna putih atau krem, tetapi padat dan
kering, meskipun di tanah basah kayu yang terserang dapat busuk dan hancur
(Basuki dan Wisma, 1995 dan Semangun, 2000).
Gambar
3. Rizomorf pada permukaan akar karet yang terserang Rigidoporus microporus
Pada
tanaman muda gejalanya mirip dengan tanaman yang mengalami kekeringan.
Daun-daun berwarna hijau kusam dan lebih tebal dari yang normal. Daun tersebut
akhirnya menjadi cokelat dan mengering. Pohon akhirnya tumbang dengan daun yang
masih menggantung. Ada kalanya pohon tiba-tiba tumbang tanpa menimbulkan gejala
kematian tajuk, karena akar tanaman telah busuk dan mati. Apabilah leher akar
tanaman yang terserang dibuka, akan tampak rizomorf jamur berwarna putih, baik
diakar tunggang ataupun di akar lateral. Akar- akar tersebut akan busuk dan tanaman
akan mati (Pawirosoemadjo, 2003).
Serangan lebih lanjut
JAP akan membentuk badan buah, berbentuk setengah lingkaran yang tumbuh pada
pangkal batang. Badan buah berwarna pink dengan tepi kuning mudah atau
keputihan. Badan buah berisi spora-spora jamur yang akan berkembang dan keluar
dari tubuh buah. Spora tersebut akan berpencar dan menyerang tanaman karet yang
masih sehat (Nugroho, 2003).
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Penyakit JAP
Jamur
akar putih (JAP) dapat menyerang tanaman karet pada bermacam-macam umur.
Penyakit akar putih terutama timbul pada kebun-kebun muda. Pada umumnya gejala
mulai tampak pada tahun-tahun ke-2. Sesudah tahun ke-5 atau ke-6
infeksi-infeksi baru mulai berkurang, meskipun dalam kebun-kebun tua penyakit
dapat berkembang terus (Semangun, 2000). JAP dapat mematikan tanaman karet yang
berumur 3 tahun dalam waktu 6 bulan dan tanaman karet umur 6 tahun dalam waktu
12 bulan (Basuki, 1981 dalam Yusuf, dkk 1992).
Penyebaran
JAP yang paling efektif yaitu melalui kontak akar. Apabila akar-akar tanaman
sehat saling bersinggungan dengan akar tanaman karet yang sakit, maka rizomorf
JAP akan menjalar pada tanaman yang sehat kemudian menuju leher akar dan selanjutnya
menginfeksi akar lateral lainnya. Tanaman yang terinfeksi ini akan menjadi
sumber infeksi pada tanaman jirannya, sehingga perkembangan penyakit semakin
lama semakin meluas (Sujatno, dkk., 2007).
Setelah
patogen menginfeksi tanaman, perkembangan selanjutnya bergantung pada pH,
kandungan bahan-bahan organik, kelembapan dan aerase tanah. R. micropous dapat
tumbuh baik pada kelembapan diatas 90%, kandungan bahan organik tinggi serta
aerase yang baik. Apabila kondisi ini sesuai, patogen dapat menjalar sejauh 30
cm dalam waktu 2 minggu (Sinulingga dan Eddy, 1989).
Pada
umumnya intensitas JAP memuncak pada umur tanaman 3-4 tahun pada saat ini
terjadi pertautan akar antar gawangan, faktor yang mempengaruhi perkembangan
penyakit, tanah yang gembur/ berpori, dan yang beraksi netral (pH 6-7), dengan
suhu lebih dari 200 C sangat baik bagi perkembangan penyakit. Penyakit
berkembang cepat pada awal musim hujan. Tunggul yang terbuka merupakan medium
penularan JAP dan akar-akar yang terinfeksi merupakan sumber penularan lebih
lanjut (Soepena, 1984).
Infeksi
patogen lebih mudah terjadi melalui luka dan lentisel, walaupun penetrasi
secara langsung mungkin terjadi. Pada tanaman karet yang sering di temukan
bagian leher akar pecah dan ini merupakan tempat yang baik bagi infeksi jamur.
Patogen kemudian ke bagian yang lebih dalam dari akar. Tanaman akan mengadakan
pertahanan seperti pembentukan kambium dan gabus, akan tetapi hal ini sering
tidak dapat menahan perkembangan lanjut patogen. Serangan lebih tingggi akan
ditemukan pada tanaman okulasi dibandingkan dengan tanaman biji. Hal ini
disebabkan pada bagian okulasi ada bagian-bagian yang luka, sehingga memudahkan
patogen untuk mengadakan infeksi (Sinulinggga, 1989).
Menurut
Basuki (1986) dalam Semangun (2000) pembongkaran karet-karet tua secara mekanis
dengan alat-alat berat memberikan hasil yang lebih baik, karena hannya
meninggalkan sedikit sumber infeksi di dalam tanah. Sebaliknya diketahui pada
peremajaan yang hanya dilakukan dengan peracunan pohon-pohon karet tua akan
menyebabkan terjadinya banyak infeksi pada tanaman muda kelak.
Di Sumatera Utara kebun-kebun yang
terletak di tanah podsolik merah kuning kurang menderita kerugian dari jamur
akar putih, daripada yang terdapat di tanah aluvial. Ini disebabkan karena tanah
tersebut lebih masam, sehingga Rigidoporus tidak dapat berkembang dengan
baik. Selain itu di tanah yang lebih masam terdapat jamur Trichoderma
koningii Oud., yang menjadi antagonis bagi Rigidoporus dapat
berkembang dengan baik (Semangun, 2000).
Pengelolaan
Penyakit Terpadu Jamur Akar Putih (Rigidiporus
lignosus)
Pengendalian
JAP ditujukan untuk memusnahkan sumber infeksi dan mencegah terbentuknya
penyakit pada tanaman karet muda serta meluasya dari satu tanaman ke tanaman
yang lain (Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2003).
Menurut
Semangun (2000) pengendalian dapat dibagi menjadi dua kelompok kegiatan, yaitu:
membersikan sumber infeksi, sebelum dan sesudah penanaman karet dan dan
mencegah meluasnya penyakit dalam kebun.
1. Membersikan
sumber infeksi
Sumber
infeksi berasal dari pohon-pohon hutan yang sakit, atau tunggul-tunggul pohon
hutan yang terinfeksi, sedang pada peremajaan berasasl dari pohon karet tua
yang sakit atau tunggul-tunggul tua pohon yang sakit. Tunggul-tunggul yang
terdapat di kebun harus dibongkar. Jika pembongkaran tunggul tidak dapat
dilakukan, untuk mempercepat pembusukan akar dilakukan peracunan tunggul (stump
poisoning) dan peracunan pohon. Agar tunggul yang baru tidak dapat
diinfeksi oleh spora R. microporus, sehabis penebangan bidang potongan
harus segera ditutup dengan obat penutup luka (Semangun, 2000).
Penanaman bibit
dilapangan diusahan bukan bibit yang sudah terserang JAP. Bibit bebas JAP ini
didapatkan pada saat penyeleksian bibit yang akan ditanam dari pembibitan,
karena bibit yang sakit dapat menjadi sumber infeksi di kebun. Infeksi pada
bibit dapat dikurangi dengan cara pemberian belerang cirrus sebanyak 250 kg per
ha pembibitan atau ditaburkan diantara barisan tanaman pada waktu bibit berumur
2 bulan. Pada saat penanaman karet, tiap lubang diberi belerang sebanyak 100 g
yang dicampurkan dengan tanah pengisi lubang, atau ditaburkan di tanah di
sekitar pangkal batang (Semangun, 2000).
Untuk
penyulaman, tanaman yang tidak bisa diselamatkan lagi, harus segera dibongkar
dan sisa-sisa akar harus disingkirkan dan bekas lubang harus diberi 250 g
serbuk belerang atau ZA. Tanah bekas lubang tanam harus disingkirkan dan dibuat
lubang tanam yang baru (40 x 40 x 30) cm. Bibit yang ditanam harus bibit stump
tinggi, disekitar bibit stump ditaburkan serbuk belerang atau
ZA untuk melindungi bibit dari serangan JAP (Direktorat
Perlindungan Perkebunan, 2003).
Pengendalian
secara biologis merupakan tindakan dengan penggunaan agensia hayati,
pengendalian ini paling mudah, murah dan ramah lingkungan (Soesanto, 2008).
Banyak
jenis Bio-fungisida yang diteliti para ahli untuk menekan pertumbuhan JAP,
misalnya Trichoderma sp. Pada pembibitan dengan dosis 50 g/pohon,
dilapangan pada pohon yang sudah terserang diberikan 100 g/pohon (TBM). Sedang
pada pohon yang sudah menghasilkan dibuat parit keliling dengan radius 0,5 m
dari pangkal pohon yang akan diisi Trico-sp dan ditutup kembali dengan
tanah (Direktorat Perlindungan Perkebunan, 2003).
Pengendalian
jamur akar putih dapat juga dilakukan dengan bakteri Pseudomonas aeruginosa dimana
bakteri ini dapat menekan pertumbuhan miselium R. microporus (Triharso,
1994).
2. Mencegah
meluasnya penyakit dalam kebun
Pembuatan
selokan isolasi (parit isolasi) disekitar tanaman yang terserang yang bertujuan
untuk mematahkan hubungan antara bagian jala-jala akar yang sakit dengan yang
sehat. Jeluk (dalamnya) parit isolasi berpariasi antara 60 cm dan 90 cm dengan
lebar lebih kurang 30 cm. Pencegahan dapat juga dilakukan dengan monitoring JAP
di lapangan. Monitoring ini dapat dilakukan seperti pembukaan leher akar.
Pembukaan leher akar ini bertujuan agar pangkal dari akar tunggang dan
akar-akar samping tidak tertutup tanah, karena jamur R. microporus tidak
dapat berkembang dengan baik pada akar-akar yang berada di luar tanah
(Semangun, 2000).
Pengendalian jamur akar putih sebaiknya
dilakukan dengan kombinasi antara cara kimia dan cara biologis, walaupun cara
kimia menunjukkan hasil yang lebih efektif daripada biologis. Pada aplikasi per
pohon, pengobatan secara kimia misalnya dengan pengaplikasian fungisida
Bayleton dengan dosis 5 cc/L air. Dengan membuat parit isolasi agar campuran
Bayleton tersebut dapat terserap ke dalam perakaran tanaman. Aplikasi
berdasarkan umur tanaman dengan dosis 250 ml/pohon (umur <1 1000="1000" 2-3="2-3" 500="500" dan="dan" ml="ml" pohon="pohon" tahun="tahun" umur="umur">3 tahun) (Direktorat
Perlindungan Perkebunan, 2003). 1>
PERMASALAHAN
Masalah yang dihadapi sampai saat ini adalah
walaupun produksi karet Indonesia tergolong besar di dunia tetapi harga jualnya
rendah di pasaran luar negeri akibat rendahnya mutu produksi karet yang
dihasilkan. Organisme pengganggu tanaman (OPT) merupakan salah satu penyebab
rendahnya mutu tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu disusun
Pedoman Pengelolaan OPT Karet yang berbasis pengendalian hama terpadu (PHT)
untuk menunjang petugas perlindungan perkebunan membantu petani karet dalam
mengelolan kebunnya.
Sampai sekarang
antara berbagai klon karet tidak terlihat adanya perbedaan dalam kerentanannya
terhadap jamur akar putih. Jamur dapat juga menular ke tanaman di pembibitan.
Di sini biasanya penyakit tidak sampai menimbulkan gejala. Pada waktu bibit
dibongkar untuk ditanam atau dipindahkan ke kantong plastik (polybag), ketahuan
bahwa akar tunggang bibit diliputi rhizomorf.
Namun
pada lahan pembibitan bekas pertanaman karet tua yang terserang berat oleh
jamur akar putih dan pengolahan lahannya tidak baik, yaitu masih tersisa banyak
potongan akar sakit, gejala dan kematian karena jamur akar putih sering
dijumpai, di samping kasus tersebut di atas.
Lamanya
jamur akar putih bertahan dalam tanah tergantung dari banyak sedikitnya
sisa-sisa kayu yang tertinggal dalam tanah, dan dari berbagai faktor yang
mempengaruhi pembusukan.
PEMBAHASAN
Permasalahan penyakit
jamur akar putih pada tanaman karet adalah masalah yang serius pada perkebunan
karet. Maka dari itu, pengendalian penyakit akar putih dilakukan dengan
melaksanakan sejumlah kegiatan secara terpadu. Pengendalian dapat dibagi ke
dalam dua kelompok kegiatan yaitu 1)
membersihkan sumber infeksi sebelum dan sesudah penanaman dan 2) mencegah
meluasnya penyakit tersebut.
Membersihkan sumber
infeksi sebelum dan sesudah meliputi pada pembukaan hutan secara mekanis harus
disertai dengan pembongkaran tunggul dan akar dan diikuti dengan pembakaran
kayu-kayu yang ada. Melakukan peremajaan (replanting) pembersihan pohon-pohon
karet tua dilakukan secara mekanis pada tanah yang datar, menanam tanaman
penutup tanah kacangan di kebun muda dapat mengurangi penyakit akar putih,
pemakaian bibit yang sehat dan merawat tanaman muda yang terjangkit.
Pembuatan
selokan isolasi (parit isolasi) disekitar tanaman yang terserang yang bertujuan
untuk mematahkan hubungan antara bagian jala-jala akar yang sakit dengan yang
sehat. Jeluk (dalamnya) parit isolasi berpariasi antara 60 cm dan 90 cm dengan
lebar lebih kurang 30 cm. Pencegahan dapat juga dilakukan dengan monitoring JAP
di lapangan. Monitoring ini dapat dilakukan seperti pembukaan leher akar.
Pembukaan leher akar ini bertujuan agar pangkal dari akar tunggang dan
akar-akar samping tidak tertutup tanah, karena jamur R. microporus tidak
dapat berkembang dengan baik pada akar-akar yang berada di luar tanah .
Pengendalian jamur akar putih sebaiknya
dilakukan dengan kombinasi antara cara kimia dan cara biologis, walaupun cara
kimia menunjukkan hasil yang lebih efektif daripada biologis. Pada aplikasi per
pohon, pengobatan secara kimia misalnya dengan pengaplikasian fungisida
Bayleton dengan dosis 5 cc/L air. Dengan membuat parit isolasi agar campuran
Bayleton tersebut dapat terserap ke dalam perakaran tanaman. Aplikasi
berdasarkan umur tanaman dengan dosis 250 ml/pohon (umur <1 1000="1000" 2-3="2-3" 500="500" dan="dan" ml="ml" pohon="pohon" tahun="tahun" umur="umur">3 tahun). 1>
KESIMPULAN
1. Rigidoporus
microporus jamur yang bersifat parasit fakultatif,
artinya dapat hidup sebagai saprofit yang kemudian menjadi parasit.
2. Gejala
serangan JAP pada tanaman karet ditandai dengan adanya perubahan pada warna
daun. Daun berwarna hijau kusam, permukaan daun lebih tebal dari yang normal.
Setelah itu daun- daun menguning dan rontok.
3. Pada
permukaan akar yang sakit terdapat benang-benang miselium jamur (Rizomorf)
berwarna putih menjalar di sepanjang akar. Di sini benang-benang meluas atau
bercabang seperti jala.
4. Penyakit
akar putih dapat mengakibatkan kematian tanaman dengan intensitas yang
sangat tinggi terutama pada tanaman karet yang berumur 2-4 tahun.
Serangan dapat terjadi mulai pada pembibitan, tanaman belum menghasilkan
(TBM) sampai tanaman menghasikan (TM).
5. Pengendalian
dapat dibagi ke dalam dua kelompok kegiatan yaitu 1)
membersihkan sumber infeksi sebelum dan sesudah penanaman dan 2) mencegah
meluasnya penyakit tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Alexopoulus,
G. J. and C. W. Mims. 1979. Introductory Mycology 3rd Edition. John
Willey and Sons, New York.
Anwar,
C., 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian Karet,
Medan.
Direktorat
Perlindungan Perkebunan. 2003. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan.
Departemen Pertanian, Jakarta.
http://www.Sinartani.com, 2009. Pemilihan Klon Karet. Diakses tanggal
25 April 2010.
Liyanage,
A. D. S. 1987. Proceeding of RRDM Symposium Pathology of Hevea Brassiliensis.
November 2-3 Chiang Mai, Thailand.
LIPTAN., 1992. Budidaya Tanaman karet. Balai Informasi Pertanian, Jaya
Pura.
Nugroho, P. A. 2003. Pengendalian Organisme
Pengganggu Tanaman Karet. Direktorat Perlindungan Perkebunan Desember 2003.
Deptan. pp. 28.
Pawirosoemadjo, S. 2003.
Pengendalian Penyakit Karet. Materi pada Workshop Pengendalian KAS dan Penyakit
Penting Tanaman Karet. Balai Penelitian Sungai Putih, Pusat Penelitian Karet.
Rahayu, S. 2005. Abstrak Hasil
Penelitian Pertanian Komoditas Karet. Pusat Penelitian Karet Sembawa, Palembang
: 275-289.
Sculte, A and D. Schone., 2003.
Dipterocarp Forest Ecosystem. World Scientific, New York.
Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit
Karet Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Setiawan, D. H., dan Andoko, A.,
2005. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Sianturi, H. S.
D., 2001. Budidaya Tanaman Karet.
Universitas Sumaera Utara Press, Medan.
Soesanto, L. 2008.
Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Rajawali Pers, Jakarta.
Syamsulbahri,
1996. Bercocok Tanam-Tanaman Perkebunan
Tahunan. Unoversitas Gajah Mada Press, Yogyakarta.
Triharso. 1994.
Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment